Selasa, 09 Juni 2009

RUWET BANGET

Terus terang, saya sdg dilema menyambut detik2 berlangsungnya sebuah gawe besar dlm perjalanan hidup saya. Event itu bernama resepsi pernikahan, atau dalam kamus kajian fikih Islamnya sering disebut Walimatul ursy. Meski terhitung masih 2 bulan lagi, namun kenyataan bahwa gemuruh kegalauan batin terus bergelanyut dalam pikiran dan rasa. Singkatnya, fenomena ritual resepsi yg dilaksanakan dlm masyarakat smkn lama semakin jauh dari tuntunan agama. Dalam Islam sendiri, acara resepsi dianjurkan sbg wujud rasa syukur kita atas nikmat Allah SWT dg memberi dan berbagi kebahagian kpda kerabat&masyarakat sekitar. Hal ini tercermin dlm perintah Rasulullah yg menganjurkan untuk memotong kambing di saat walimah dilaksanakan.

Ironisnya, byk sekali kita jumpai model resepsi yg jauh dr ajaran agama. Kondisi ini tdk melulu dikotomi masyarakat perkotaan saja,namun sudah merembet ke wilayah pedesaan. Menurut pengalaman saya praktek2 yg cukup memilukan adalah: masih saja mencampur-adukkan antara tamu laki2 dan perempuan, penampilan musik pengiring yg bungkusnya agamis tapi sajiannya musik2 populer (kebetulan wkt itu penyanyinya Cici paramida, ehem2..). Di daerah2 pedesaan sekalipun kdg kondisinya lebih menyeramkan, selain ikhtilat atau dlm bhsa indonesianya bermakna campur baur pria wanita dlm satu pertemuan jg hiburan bg para tetamu memakai iringan musik dangdut. Parahnya lagi, fenomena ini merambah dan bahkan menghantam ke sektor keluarga pesantren. Padahal secara moral, pesantren pny tanggung jawab besar unt memberi arahan dan tuntutan bg masyarakat sesuai ajaran yg dipelajari dlm kajian Islam. Apalagi dg format acara dan tempat yg cenderung bermewah2, unsur gengsi lbh menonjol sepertinya. Di zaman yg ckp prihatin seperti skrg, rasanya sgt berlebihan jika acr semacam ini dilangsungkan scr bermewah2 (bahkan ada yg 3 hari 3 malam,ada tontonan di tiap malamnya dg sajian hiburan yg berbeda. Dari musik pop,dangdut sampai nanggap wayang kulit). Maaf, di sini saya bukan bermaksud unt menghakimi, saya hanya merasa panik jika hal itu (hal2 yg tdk sesuai dg apa yg saya yakini) terjadi dlm perhelatan resepsi pernikahan saya kelak. Melawan adat atau kebiasaan dlm lingkungan sekitar memang cukup berat, tapi apa kita hanya mengedepankan TUNTUTAN gengsi & TONTONAN masyarakat? Tanpa menghiraukan aspek TUNTUNAN agama dalam mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lbh bermartabat. Semoga kita lbh bijak menyikapi hal ini.pusing bgt euy…………………………………(hampir stress neh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar